Pages

Friday, January 1, 2010

Kelas Yang bernama Kehidupan


Seorang tante saya pernah bilang kalau setiap manusia punya "life lesson" yang harus mereka kuasai dalam hidup ini. Tiap orang punya "life lesson" yang berbeda. Saya pikir "life lesson" saya adalah dalam hal mengatasi kekecewaan. Sepanjang umur saya, yang dapat saya ingat, hampir semua yang saya cita-citakan tidak saya dapatkan dalam bentuk persis seperti yang saya cita-citakan. Berulang kali saya harus menghadapi kekecewaan karena harus banting setir saat menghadapi realita. Saya tidak mau mengatakan bahwa Tuhan tidak memberikan saya apapun dalam hidup. Tuhan memberkati saya dalam banyak hal, akan tetapi entah mengapa, banyak sekali hal yang sangat saya inginkan dalam hidup, Ia berikan tidak melalui jalan yang mulus, tetapi harus berkali-kali membentur realita, dan melewati jalan panjang berliku sebelum kemudian (mudah2an)bisa aku capai.

Satu hal yang paling nyata, dalam hal cita-cita saya dibidang masak memasak. Sejak SD, saya sudah menyadari bahwa saya punya passion yang sangat besar pada makanan. Saya orang yang sangat menikmati makanan. Sejak SD, setiap kali membaca majalah, halaman pertama yang saya buka adalah halaman resep. Saya biasanya akan membaca setiap resep yang menarik dengan seksama. Setiap petunjuk yang tertulis dalam resep itu, saya bayangkan langkah-langkah pembuatannya. Seringkali, saya membaca resep-resep itu menjelang waktu tidur saya, dan ternyata saya memimpikan membuat makanan itu. Setiap kali saya tidak dapat tidur, saya akan mengambil resep masakan pemberian oom saya untuk saya baca, setiap halamannya, sampai kemudian jatuh tertidur. Setiap kali menemukan bahan yang terdengar asing, saya akan mengingatnya, dan akan merasa sangat senang jika suatu hari saya membaca keterangan tentang bahan asing itu di majalah lain. Sejak SD pula, setiap kali dimintai tolong oleh mama untuk pergi membeli masakan di satu resto chinese food dekat rumah, saya akan memperhatikan dengan sangat seksama langkah pembuatan setiap masakan yang dipesan, bahan apa saja yang dimasukkan, apakah dagingnya harus dipukul atau tidak. Sepulangnya dari resto itu, saya akan bercerita tentang seluruh hasil pengamatan saya itu pada mama, untuk dikemudian hari direka ulang oleh mama.

Tidak mengherankan, jika saat kelas 2 SMP saya sudah sangat jelas tentang cita-cita saya, yaitu mengambil jurusan masak memasak saat kuliah nanti. Semua usaha saya kerahkan untuk bisa menembus sekolah perhotelan ternama di kota Bandung. Saya memberikan perhatian saya paling besar dalam pelajaran bahasa inggris, karena saya tahu itu akan menjadi bahan ujian penerimaan sekolah perhotelan itu kelak. Jika teman-teman saya selalu menggerutu tentang sulitnya pelajaran grammar, saya justru senang dengan seluruh materi pelajaran bahasa inggris.
Cita-cita tersebut tidak pernah berubah sedikitpun hingga saya lulus dari SMA. Apa daya, saat itu kondisi keamanan di Indonesia membuat mama saya berubah pikiran. Mama saya menjadi orang pertama yang menentang cita-cita yang dahulu ia dukung. Mama cuma memberikan 2 pilihan, masuk ke Universitas swasta lain yang ia anggap lebih aman, atau dikirimkan ke China sambil menunggu kondisi Indonesia lebih aman. Saya terpaksa mengambil pilihan pertama, masuk Universitas yang lebih aman, dan mengambil jurusan yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan akan saya ambil. Kecewa ? sudah pasti....

Rasanya seumur hidup saya harus berkali-kali berhadapan dengan situasi yang diluar kontrol saya yang akhirnya membuat apa yang saya cita-citakan gagal tercapai. Baik dari hal besar, seperti jurusan kuliah, hingga hal remeh seperti kota tujuan bulan madu yang harus aku batalkan karena kota Bali baru saja mengalami pemboman saat itu.
Berulang kali mengalami kekecewaan, ternyata tidak membuat saya semakin pintar dalam menghadapi perasaan kecewa itu. Tahun 2009 mungkin menjadi tahun terberat dalam hal mengelola rasa kecewa ini. Ditahun ini saya berkali-kali menghadapi situasi yang serba tidak pasti, yang mengakibatkan apa yang sudah dicita-citakan terpaksa dikubur atau dipending. Pertahanan kesabaran saya rasanya sudah bobol di tahun ini. Saya rasanya sudah muak harus berulang kali menelan semua kekecewaan itu. Jika sebelum-sebelumnya saya mengomel setiap kali merasa kecewa, tahun ini saya merasa sangat marah. Entah pada siapa amarah ini harus ditujukan, tapi pada akhirnya orang-orang terdekat saya yang akhirnya harus menerima semua amarah akibat dari kekecewaan yang terpendam itu.

Dalam kemarahan ini, saya bersikap seperti seorang balita yang frustasi karena tidak mendapatkan keinginannya. Jika sebelumnya saya berusaha memahami dunia sekitar saya, maka di tahun 2009 ini, saya menuntut agar dunia yang memahami saya. Saya secara kaku menuntut agar segala sesuatunya berjalan seperti apa yang saya kehendaki, dan jika tidak seperti itu, maka saya kemudian akan menjadi sangat marah. Saya menuntut orang terdekat saya, which is my betterhalf - Idar, untuk memahami segala keinginan dan perasaan saya tanpa saya mau sedikitpun memberikan celah untuk mau memahami keinginan dan perasaaannya. Berulang kali saya harus bertengkar dengannya karena segala hal remeh temeh yang gagal ia lakukan persis seperti keinginan saya, sementara segala keberhasilan Idar dalam mempersembahkan hal-hal besar saya abaikan. Amarah ini juga membuat hari-hari saya menjadi sangat tidak produktif. Demi mencegah kemarahan saya tertumpah tidak terkendali dan memperburuk hubungan saya dengan idar, setiap kali menghadapi kekecewaan, saya berusaha untuk "melarikan diri", tidak mau menghadapi permasalahan yang sebenarnya.

Dunia maya menjadi tempat pelarian saya yang paling nyaman, disana saya bisa bertemu dengan banyak sekali sahabat-sahabat maya, saya bisa mengintip sedikit kehidupan para sahabat saya tersebut dan ikut merasa senang saat sahabat saya itu sedang senang. Saya sama sekali menghindar untuk merasakan perasaan saya sendiri, enggan menghadapi diri sendiri dan berharap solusi bisa muncul dengan sendirinya tanpa perlu saya turun tangan.
Sikap yang sangat kekanak-kanakan, saya sadar sekali akan hal itu, dan juga tidak peduli. Saya termanjakan oleh Idar yang sangat pengertian, yang membiarkan saya dengan segala pola "melarikan diri" saya, paling hanya sesekali dia mengingatkan jika saya sudah terlalu jauh melarikan diri, mengingatkan saya untuk tidak terlalu cepat berlari dan tidak ingat untuk kembali. Kondisi seperti ini terus terang membuat saya sangat lelah secara mental, saya seakan-akan hidup dalam kereta rollercoaster tanpa tombol off. Dalam kelelahan itu, saya makin bersikap seperti anak kecil, yang hanya fokus pada kebutuhan diri sendiri sementara dunia diluar saya itu hanyalah latar belakang yang samar-samar, yang membuat saya pusing jika saya berusaha untuk fokus. Dalam kelelahan ini, saya berpikir bahwa dunia sedang berputar mengelilingi saya, dan bahwa saya lah pusat semesta ini.

Mengingat itu adalah pikiran irrasional, maka tidak heran jika kemudian saya jatuh semakin dalam lubang yang bernama "depresi" setiap kali harus menghadapi kekecewaan. Lubang yang secara perlahan menjebak saya saat baru saja melahirkan Makaio, dan nyaris menenggelamkan saya pasca melahirkan Aika. Saya berhasil terbebaskan dari lubang itu saat Idar memaksa saya berhadapan dengan diri saya sendiri dan mendorong saya untuk jujur mengakui passion saya dibidang makanan.
Saya tidak mau lagi jatuh ke lubang yang sama, meskipun ada banyak kecenderungan untuk menuju ke arah lubang itu. Satu-satunya cara untuk menghindari dari lubang depresi dalam hidup saya adalah menguasai ketrampilan untuk menghadapi kekecewaan. Jika itu adalah Life Lesson saya, maka saya harus belajar sangat keras supaya bisa naik kelas. Seumur hidup saya, saya bukan siswa yang rajin, malah bisa dibilang saya itu siswa yang sangat pemalas. Tuhan memberkati saya otak yang cukup encer, sehingga meskipun saya sering tertidur dalam kelas, atau bahkan membaca novel saat kuliah, saya masih bisa lulus dengan nilai yang tidak memalukan. Tuhan mungkin justru memaksa saya untuk menjadi siswa yang lebih rajin dalam kelas yang bernama kehidupan. Karena dalam kelas kehidupan ini, otak encer saja tidak cukup. Diperlukan lebih dari sekedar kerja keras dan otak encer untuk bisa lulus. Diperlukan segentong kesabaran dan kepasrahan (kualitas yang kurang saya miliki), diperlukan sekulkas penuh doa dan iman untuk membuat saya bertahan dititik normal dan tidak terseret kembali ketitik depresif. Dan dikelas ini, saya juga tidak bisa nyontek, karena tiap manusia punya bahan ujian yang berbeda-beda, sehingga ini kemudian menjadi ujian privat antara saya dan Tuhan di dalam kelas bernama kehidupan.

Sekarang, diawal tahun 2010, saya kembali membuat resolusi setelah sekian tahun absen membuatnya. Satu-satunya resolusi saya di tahun 2010 adalah lulus dalam mata kuliah yang berjudul "Kekecewaan", dan semoga saat saya lulus nanti, saya bisa mengambil mata kuliah lain, karena terus terang, belajar menguasai satu mata kuliah selama 30 tahun itu mulai terasa sangat membosankan, hehehheehe.




No comments: